Senin, 16 April 2012
tetes air mata di bandara Abdul Rahman Saleh
namanya bu Sri,
sososk wanita paruh baya,
lebih enak dipanggil nenek Sri mungkin,
beliau salah satu penumpang pesawat yg membawaku ke Abdul Rahman Saleh Malang,
Malang kawan,
sebuah kota di pelosok jawa,
cukup maju untuk ukuran kota di daerah,
terlebih dilengkapi bandar udara yg sedang berbenah menuju Bandara internasional,
entahlah kawan,
Abdul Rahman Saleh menyiompan banyak energi,
namun juga mengungkap sejumlah elogi,
dan bu Sri,hanya salah satu yang kutemui,
sebuah gundah hati darinya
percakapan berawal ketika aku menanyakan perihal kota Malang,
haha... malang bagiku kawan,
aku baru pertama kalinya ke Malang dengan pesawat,
bukan gaya kawan, tapi karena keterbatasan waktu,
hanya pesawat yg bisa membawaku tak lebih dari dua jam,
membawa jasadku dari hiruk pikuk Jakarta menuju damai sejuknya Malang.
Ibu Sri,
awal percakapan itu meluas,
awalnya beliau menanyakan perihal diriku,
perihal keluarga dan asalku,
hingga saat kuceritakan tentang ayahku,
butir-butir air mata mengalir di pipinya
"nenek kenapa nangis?"
demikian sang cucu kecil bertanya,
seorang gadis mungil yang belum juga SD menarik-narik jilbab bu Sri..
dan saat itu beliau memulai ceritanya,
bu Sri kawan,
sosok wanita tangguh,
sosok wanita sabar,
bu Sri kawan,
hanya satu dari sekian banyak wanita,
yang menjadi korban dari gerakan G30 S PKI,
beliau bersuami seorang anak dari pemberontak PKI,
dan bu Sri harus menelan pil pahit akibatnya,
dirinya dan suaminya tak pernah diterima bekerja di Jawa,
dan saat kedua anak kecilnya terlahir ke dunia,
sang suami merantau ke Kalimantan,
mencoba mengais rezeki untuk menghidupi kedua anak kecilnya,
namun inilah rencana Allah kawan,
alih-alih mencari pekerjaan, suami bu Sri terpikat wanita di Kalimantan,
ujungnya tak pernah kembali ke tanah jawa,
berkeluarga dan menetap di Kalimantan,
dan cerita perjuangan bu Sri dimulai,
pekerjaan demi pekerjaan dilakukan,
namun nihil, predikat istri dari seorang anak PKI masih melekat,
tak satupun lembaga yang mau menerimanya bekerja,
dua anak kecil menjadi penyemangatnya, bu Sri tak patah semangat,
apapaun pekerjaan halal dilakukan,
dua anak kecil itu terus menjadi alasan tak boleh menyerah
dan usaha bu Sri yang gigihpun memperoleh hasil,
kerja demi kerja membuahkan hasil,
kedua anaknya bisa tumbuh besar,
kesetiaan pada suaminya tetap dijaga,
kepercayaan bahwa suatu saat suaminya akan pulang terus dijaga,
bahkan bu Sri menolak dengan keras saat diminta untuk menikah lagi oleh orang tuanya,
"suamiku lagi mencari pekerjaan, suatu saat akan pulang"
demikian jawaban tegarnya.
bahkan kawan,
saat datang berita tentang suaminya yang sudah berkeluarga lagi di Kalimantan,
bu Sri masih tak percaya, hingga akhirnya bu Sri mengetahui kebenarannya,
namun demikianlah ketegaran bu Sri,
beliau tetap menjadi wanita tangguh,
beliau tetap menjadi wanita hebat.
kedua putranya bisa tumbuh besar,
bahkan semuanya menamatkan pendidikan sarjana,
hingga kini bu Sri memiliki dua cucu kecil
dengan penuh perasaan bu Sri berkisah,
butir-demi butir air mata mengalir di pipinya,
sesenggukan menambah pilu cerita hidupnya,
sang cucu masih terus menarik-narik kerudung titipnya.
lebih dari setengah jam beliau bercerita,
padaku, pada cucunya yang mungkin masih belum tau,
pada dunia, pada realita yang selama ini "emoh" mendengarnya,
beliau menatapku,
seperti tatapan cinta ibu pada anaknya,
dengan penuh ketulusan beliau berucap pelan "ibu masih mencintai suami ibu.."
dan All menguji cintanya,
belum lama ini sang Suami kembali ke Jawa,
dalam keadaan sakit yang komplikasi,
dalam keadaan renta yang penuh lemah,
dan menyatakan ingin kembali kepada bu Sri,
saat mneceritakan tentang ini,
tangisan beliau kian keras,
air mata kian kencang mengalir,
Allah punya rencana lain,
keluarga bu Sri mengusir,
anak-anak bu Sri mendendam,
alhasil sang suami tak berdaya kembali ke Kalimantan,
saat bu Sri menangis lebih keras,
beliau perlahan bilang
"saya sangat mengkhawatirkan nak...
mengkhawatirkan suami saya karena dia menderita komplikasi,
sedang harus ke Kalimantan sendiri"
saya mengkhawatirkan keadaannya,
dan demikianlah ketulusan cinta,
cinta seorang bu Sri,
cinta pada suaminya,
bahkan tak ada kebencian meski telah didzalimi,
setengah jam lebih beliau bercerita,
dan mengakhiri ceritanya dengan bhanyak pesan padaku,
untuk jangan menyiakan cianta,
dari siapapun,
apalagi ketulusan pasangannya,
bu Sri kawan,
beliau menutup ceritanya,
dan mengusap aliran air mata,
saat sang menantunya datang menjemputnya,
di bandara itu, Abdul Rahman Saleh, Malang
sore kami berpisah,
tets air mata itu mengiringi kisah,
tetes air mata di bandara Abdul Rahman Saleh
17.15 WIB, 15 April 2012
Mokhamad Kusnan
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar