sabtu lalu,
agendaku seputar belajar dan mengajar,
saat jelang subuh,
harus dihadapan seorang remaja yang minta diajarkan bagaimana membaca surat cinta,
perlahan, terbata, dia mulai menikmati surat cinta,
ah, aku lebih sering menyebutnya surat cinta, daripada kitab suci,
terbukti dia kini jadi rajin membacanya,
tak lama setelah subuh,
dengan langkah tertatih menahan kantuk,
harus menuju majelis ilmu pekanan,
kalo bukan karena cinta, langkah ini takkan mungkin dimudahkan,
cinta kepada ilmu,
cinta kepada saudara seiman,
cinta kepada jamaah,
terlebih, cinta kepada tauladan yang sudah diajarkan manusia penuh cinta, Muhammad saw,
ah beliau itu, makin kahgum saja saat terus membaca dan meneladani kisahnya,
manusia yang penuh cinta,
untuk ummatnya,
sampai dalam sebuah riwayat,
saat nanti semua manusia dibangunkan dari kuburnya,
diceritakan,
yang pertama keluar dari mulut Rasul mulia itu,
tidak menyebut apapun kecuali menanyakan keadaan ummatnya,
subhanallah....Allohumma soliala Muhammad...
selesai menghadiri majelis ilmu,
berikutnya menuju lahan ilmu,
menanam benih-benih kebikan di lahan subur, SMP,
entahlah,
banyak aktivis dakwah yang menyepelekan lahan mungil ini,
banyak yang mencibir saat kukatakan aku akan serius membina anak-anak ingusan itu,
tapi sungguh nian,
terbukti anak-anak ingusan itu tumbuh lebih anggun,
berkembang lebih rindang,
berbunga lebih banyak,
berbuah lebih manis,
sosok-sosok anak ingusan,
yang mendapat balutan cinta,
sentuhan tarbiyah,
dan celupan hidayah,
terbukti lebih siap mengemban amanah ummat saat mereka harus metamorfosa menuju putih abu-abu.
"kak, besok liqo ya...kaka kan udah lama gak ngisi liqo. besok jadwal kaka loh"
demikian bunyi sms anak kelas 1 SMP itu,
memang kini perlahan aku mulai meninggalkan,
meninggalkan untuk berkembang,
meninggalkan untuk mendidik,
meninggalkan untuk masa depan,
jadi hanya sekali sebulan aku menyentuh anak-anak ingusan itu,
selebihnya muridku yang lain yang mengurusnya,
estavet,
inilah estavet dakwah yang harus diupayakan,
agar,
dakwah ini tak hanya berkutat di seputar ungkapan "itu-itu saja" atau "lu lagi lu lagi"
07.30
aku sudah sampai di muara cinta itu,
di kelas sempit pengap yang disediakan pihak sekolah untuk tempat ibadah,
dilema,
kadang terpikir,
beginilah keadaan ummat,
menyediakan tempat terburuk untuk ibadah,
ah kadang terpikir juga,
"lha wong yang shalat aja dikit banget. ngapain juga besar dan bagus"
Astaghfirulloh....
08.00
setelah setengah jus kulahap,
setelah munajat duha beberapa raka'at,
lalu menunggu manusia-manusia belia itu,
sambil menikmati kehijauan,
membayang masa lalu,
mengukur produktivitas tarbiyah "sudah berapa banyak kader yang kucetak, dari majelis ini?"
ah, lupakanlah,
untuk ukuranku, seharusnya aku bisa berbuat lebih,
pun, banyaknya itu, masoih banyak lagi yang belum bisa kutarbiyah,
astaghfirullohaladzim,
bukan saatnya membanggakan diri dengan jumlah,
juga dengan hasil,
karena tugas kita hanya bekerja,
selebihnya biarkan Allah yang menilai,
08.15
entahlah,
biasanya anak-anak itu yang menungguku,
biasanya mereka yang selalu antusias menyambutku,
biasanya mereka yang seringkali sms atau menelpon "kakak udah dimana?..udah pada ngumpul nih..buruan yah"
saat itu aku hanya terdiam,
berganti dengan mereka,
menunggu mereka,
dan menjaga semangat,
menjaga senyuman,
mempersiapkan antusiasme menyambut mereka dengan kehangatan,
08.20
dalam kebisuan,
tiba-tiba muncul seorang anak mungil,
kelas 1 SMP,
sambil berlari sekencangnya,
menujuku...
akupun membuat senyum terindah menyambutnya,
"assalamualaikum kakak...maaf yah telat, nunggu ojeknya lama tadi"
demikian ucapannya
aku hanya menjawab salamnya dengan sempurna,
membungkusnya dengan senyuman terindah,
lalu lembut mengatakan "hebat...telat itu prestasi"
hingga anak itu menanyakan "kok telat prestasi kak?"
"iya, karena memberikan kesempatan kakak untuk bersabar,
memberikan kesempatan tukang ojek mengerjakan keperluannya,
menguji kedisiplinan diri,
dan ucapan maaf itu menghilangkan prasangka,
penjelasan setelahnya menutup pintu amarah"
entah dia mengerti atau tidak,
entah dia bisa mencerna ucapanku atau tidak,
yang jelas dia berlalu saja menuju keran dan mengambil wudhu untuk rakaat duha,
08.30
hanya kami berdua,
hanya dia seorang muridku yang hadir,
"yang lain kemana?" serentak pertanyaan itu keluar dari mulutku untuknya,
dan dari mulutnya untukku,
"afwan kaka, lupa menginfokan kalo hari ini liqo dengan kaka. jadi mereka taunya libur"
ucap salah seorang muridku yang juga kadang menggantikanku mengisi pekanan anak-anak SMP itu.
pagi itu,
menjadi saksi,
mereka memiliki cinta,
cinta akan ilmu,
cinta akan sentuhan hati,
cinta akan balutan hidayah dan ukhuwah,
cinta akan nilai-nilai agung Islam yang utuh,
cinta akan tarbiyah,
seorang bocah,
meski dalam kesendirian,
tap[i senyuman dan semangatnya tak berkurang,
untuk sekedar belajar dalam terbata membaca surat cinta,
untuk sekedar menonton aksi spektakuler robit TRANSFORMER,
hem...halaqoh itu akhirnya kusisi dengan menonton aksi memukau TRANSFGORMER 3 yang sudah diedit.
karena mereka memiliki cinta,
ribuan bahkan ratusan ribu pelajar ingusan menunggu kita,
menunggu kehadiran kita dengan sentuhan tarbiyah,
menunggu uluran tangan dan sentuhan-sentuhan cinta,
menunggu ucapan bibir dengan lantunan indah cerita sahabat,
menunggu pemaparan epik perjuangan Rasul tercinta,
menunggu harmoni ilmu seputar Islam,
menunggu kita kawan....
karena mereka memiliki cinta,
cobalah sapa dengan sapaan terindah,
sambut dengan senyuman paling merekah,
peluk dan himpun dalam manisnya ukhuwah,
lalu cetak menjadi para mujahid dakwah,
karena mereka memiliki cinta,
mari kembali ke sekolah.....
karena mereka memiliki cinta,
pagi syahdu seusai 2 rakaat setelah wudhu,
teringat curhat kemarin,
bahwa dakwah sekolah kini mengalami penurunan,
sang alumni lebih mencintai manisnya hijau runput kampus,
daripada menyentuh ilalang sekolah,
karena mereka memiliki cinta,
saatnya intrispeksi diri,
kubagi untuk mereka yang masih punya hati,
mari membangun negeri dengan pasti,
membina anak-anak mungil dengan hati,
21 12 2011
Mokhamad Kusnan
(semoga bahasanya mudah dimengerti)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar