seri heroik anak smp 1:
empat anak,
mondar-mandir saja di gerbang sekolah,
empat pelajar putri itu makin gusar,
raut mukanya memerah,
sesekali mengusap keringat yang mengalir di pipinya,
dari kejauhan aku setengah berlari,
dengan ransel dan tas besar berisi infocus,
menuju mereka
mereka tak mau kalah,
mendekatiku dengan sungguhan berlari,
jarak masih juga jauh teriakkan mereka sudah terdengar,
"buruan kak...
anak-anak sudah pusing,
kekhawatiran luar biasa,
semoga ibunya gak datang ke sekolah"
demikian salah satu dari mereka berucap.
"tenang, kk aja tenang kok"
aku mencoba menenagkan,
"berapa yang gak masuk hari ini?"
demikian aku membuka percakapan,
sambil berjalan setengah lari menuju salah satu rung kelas,
"tiga kak,
semua yang semalam melihat kejadian itu masih trauma,
mereka ketakutan kalau ibu si fulan nyamperin ke sekolah.
bisa makin runyam" begitu jelas salah satu dari mereka.
perjalanan makin dipercepat,
dua pelajar cowo menunggu kami,
salah satunya berlari menedekatiku,
"sini kak, infocusnya aku bawain" kemudian seketika merebut tas besar yang kutenteng.
"baik kita mulai dengan ta'awudz dan basmalah sebelum memulai"
demikian ucapku.
"sebelum peserta datang ada yang ingin kk sampaikan.
terkait kasus semalam,
kalian jangan takut,
Insya Allah gapapa.
ini resiko dakwah.
ini harga perjuangan.
Insya Allah si fulanah juga tetap tegar"
demikian aku mencoba mememangkan kerisauan mereka.
sekitar 1 jam mentoring gabungan itu berjalan,
dengan peserta lebih dari 30an,
tetap semangat,
hanya wajah dari 6 anak yang duduk paling belakang yang aneh,
mukanya memerah,
dikit-dikit berdiri, melihat keluar lewat jendela,
setengah hati mendengarkan,
setengah hati mengikuti,
kerisauan masih menghantui mereka
suasana takbir menggema di ruangan ber-AC itu,
infocus kumatikan dan kubereskan sendiri,
keenam anak itu sibuk membereskan yang lain,
setelah semua beres kami dukuk berkumpul di bangku paling depan
"kak, aku sudah bilang mamah,
beliau mau jadi jaminan untuk ka Kusnan,
beliau mau menjadi pembela kak Kusnan kalau harus ke meja hijau"
kata-katanya tajam, mukanya serius, matanya sedikit berair
"kak, aku juga sudah bilang ibu,
kata ibu akan disampaikan ke Ayah,
dan tadi sebelum subuh sudah dipastikan Ayah akan memebantu kakak,
Ayah akan menjadi pembela kakak"
salah satu yang lain
"pokoknya kakak gausah khawatir,
kamia siap membantu sampai mati,
kami bersama kakak"
demikian mereka meyakinkan
aku masih mencoba tersenyum,
menghilangkan gundah hati,
menepis ketakutan akan hukuman yang harus kuterima,
juga apabila ancaman memasukkanku ke jeruji besi itu terjadi.
==
malam sebelumnya,
kami sedang asyiuk membahas perkembangan dakwah di sekolah mereka,
sekolah SMP almamaterku,
sekitar 7 anak delapan denganku,
di salah satu rumah mereka,
hingga akhirnya salah satu orang tua menelpon,
dan memebentak tak karuan,
cacian dan makian tertuju padaku,
"hey kak Kusnan...
jangan jadi pengecut ya gamau bicara dengan saya.
sekarang juga kembalikan anak saya.
kak Kusnan sudah saya laporkan ke polisi"
demikian suara lantang dari saluran telepon genggam si anak.
akhirnya si anak yang bersangkutan mau juga pulang,
diantar 4 wanita yang lain,
dengan dua motor,
di tengah malam,
jam 22.00 lewat
30 menit kemudian keempat wanita itu kembali dengan kami,
tangisan panjang histeris,
seketika sang ibu yang empunya rumah yang kami pakai untuk pertemuan itu keluar,
memeluk keempat anak perempuan itu dengan lembutnya,
mencoba menenangkan,
sambil bertanya kenapa dan kenapa.
salah satu dari mereka ada yang terdiam dari tangisnya,
mencoba menjelaskan, dengans sesenggukan
"sampai di rumahnya si fulanah di siram air kotor,
jilbabanya ditarik dan dijambak,
ibu dan neneknya memaki sejadinya,
dan ibunya bilang akan emlaporkan kak Kusnan ke polisi"
==
seminggu kemudian,
acara mentoring gabungan seperti biasa,
keterbatasan mentor di SMP itu memaksaku mengadakan mentoring gabungan,
juga keterbatsan waktuku,
semua berjalan lancar,
semua tersenyum,
gelak tawa sumringah dari mereka saat aku mencoba sedikit bergurau,
infocus segera kumatikan setelah lima kali takbir dengan lantang diteriakkan,
keenam panitia yang juga kelas 3 SMP itu sibuk memebereskan perlengkapan,
setelah semua beres kami berkumpul di bangku paling depan,
wajah semangat sumringah menghiasi keenam anak itu,
satu perempuan menyusul masuk ke ruangan ber-AC itu,
"afwan kakak, tadi ada urusan dulu dengan guru" demikian ucapnya,
dia juga tak kalah semangat,
siang itu aku saksikan semangat kian gelora,
semangat dakwah dan perjuangan,
semangat kemenangan,
setelah tiga hari dihantui ketakutan
mereka sangat senang saat aku terbebas dari jeruji besi,
"inilah harga perjuangan.
inilah yang dulu juga dihadapi Rasul dan sahabat,
dan inilah bukti saat Allah menangkan kebenaran"
demikian ucapku,
kawan,
keenam pelajar belia itu telah membayar harga perjuangan,
perjuangan menghidupkan geliat dakwah sekolah di SMP mereka,
yang harus berhadapan dengan orang tua super protec,
yang salah paham dengan model pembinaan,
yang salah paham dengan dakwah yang kami lakukan,
membayar harga perjuangan,
keenam pelajar itu menjadi bukti,
bahwa saat aktivis dakwah melemah dan memilih keluar maka Allah hadirkan pengganti,
generasi yang kuat dan berani,
yang tak takut dengan siapapun kecuali Allah,
yang besar cintanya pada dakwah,
yang mau membayar harga,
membayar harga perjuangan,
dengan tangisan, pengorbanan, dan semua,
dengan gelisah hati
membayar harga perjuangan,
heroiknya anak-anak palestina membekas di hati mereka,
"ini semua belum seberapa,
anak-anak di Palestina lebih dasyat,
nyawa bahkan sering melayang menjadi harga yang harus dibayar,
mereka tak pernah takut dan gentar,
tak pernah takut bahkan dengan rudal dan tank baja,
dengan timah panas atau racun asap,
mereka tetap berani membayar harga,
membayar harga perjuangan,
dengan darah dan nyawa,
malu kalau kita hanya seperti ini terus mengeluh dan melemah kalah"
demikian penguatanku pada mereka
membayar harga perjuangan
pagi terik di ibukota,
kubagi untuk para mujahid belia,
07:15 WIB
24 februari 2012
Mokhamad Kusnan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar